Selasa, 01 Februari 2011

PERSAINGAN DAGANG INDONESIA-CHINA DALAM KESEPAKATAN ACFTA

Perdagangan internasional merupakan salah satu faktor untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian suatu negara. Perdagangan internasional dapat mendorong peningkatan industri, perkembangan transportasi global, serta  berdirinya perusahaan multinasional.  Di kawasan Asia Tenggara perdagangan internasional dikenal dengan Asean Free Trade Area (AFTA) yang meliputi negara-negara ASEAN, seperti: Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Brunei Darusallam, Kamboja, Vietnam, Laos dan Myanmar.
Perdagangan bebas di Asia Tenggara atau AFTA diawali dengan kesepakatan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura pada tahun 1992. Tujuan AFTA tersebut adalah untuk meningkatkan kerja sama ekonomi antar negara-negara ASEAN demi tercapainya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan bagi negara–negara ASEAN sehingga stabilitas dan kemakmuran di ASEAN dapat terjaga, meningkatkan daya saing di pasar global, dan menarik Foreign Direct Investment (FDI). Sedangkan manfaat dari AFTA antara lain adalah: meningkatnya kegiatan ekonomi dalam negeri masing-masing negara, lebih efisiennya kegiatan produksi, meningkatnya ekspor, meningkatnya investasi, dan lapangan kerja terbuka lebih luas. AFTA merupakan bentuk dari kesepakatan negara-negara ASEAN untuk melakukan pengurangan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif sehingga membentuk suatu perdagangan bebas demi meningkatkan daya saing ekonomi ASEAN, untuk menarik investasi dan meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN serta menciptkan pasar untuk 500 juta penduduknya.
Perkembangan dalam AFTA terus berlanjut yang kemudian memulai kesepakatan untuk memasukkan China sebagai partner dagang dalam kawasan ASEAN dan membentuk ASEAN-China Free Trade Areas (ACFTA). ACFTA ini diawali oleh kesepakatan para peserta ASEAN-China Summit di Brunei Darussalam pada November 2001. Hal tersebut diikuti dengan penandatanganan Naskah Kerangka Kerjasama Ekonomi (The Framework Agreement on A Comprehensive Economic Cooperation) oleh para peserta ASEAN-China Summit di Pnom Penh pada November 2002, dimana naskah ini menjadi landasan bagi pembentukan ACFTA. Kemudian, pada November 2004, peserta ASEAN-China Summit menandatangani Naskah Perjanjian Perdagangan Barang (The Framework Agreement on Trade in Goods) yang berlaku pada 1 Juli 2005. Tujuan dari Framework Agreement ACFTA tersebut adalah (a) memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan dan investasi kedua pihak; (b) meliberalisasikan perdagangan barang, jasa dan investasi (c) mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak; (d) memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak. Selain itu, menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui (a) penghapusan tariff dan hambatan non tarif dalam perdagangan barang; (b) liberalisasi secara progresif perdagangan jasa; (c) membangun regim investasi yang kompetitif dan terbuka dalam kerangka ASEAN-China FTA. Berdasarkan perjanjian ini negara ASEAN-5 (Indonesia, Thailand, Singapura, Philipina, Malaysia) dan China sepakat untuk menghilangkan hamper semua tarif komoditas pada tahun 2010. Perdagangan bebas tersebut mulai berlaku pada 1 Januari 2010 dengan penghapusan tariff pada produk-produk ekspor impor sesuai dengan kesepakatan.
Ketertarikan ASEAN mengikutsertakan China menjadi partner dagang dalam ACFTA karena China memiliki potensi pasar yang bagus. Seperti yang kita ketahui China merupakan negara berkembang di Asia yang perkembangan ekonominya cukup pesat dan mampu mempertahankan pertumbuhan yang tinggi dibanding negara-negara lainnya, sehingga posisi Cina saat ini cukup penting dalam perekonomian global. China yang memiliki penduduk yang begitu besar yaitu 1,4 miliar yang merupakan pasar yang cukup besar dan potensial sehingga akan saling menguntungkan apabila dapat dijalin kerjasama diberbagai sektor ekonomi, karena disamping memiliki kemampuan investasi yang tinggi, Cina juga membutuhkan bahan baku dan barang modal untuk menggerakkan sektor industrinya. Dengan diberlakukannya pasar bebas tersebut, akan membuat produk-produk impor dari ASEAN dan China menjadi lebih mudah masuk ke pasar domestik. Selain itu harga produk tersebut juga menjadi lebih murah, disebabkan adanya pengurangan atau penghapusan tarif bea masuk.
Bagi Negara Republik Indonesia, perdagangan bebas ASEAN dengan China ini memberikan dampak positif dan negatif terhadap perekonomian. Dampak positifnya adalah terbukanya peluang Indonesia untuk meningkatkan perekonomiannya melalui pemanfaatan peluang pasar yang ada, dimana produk-produk dari Indonesia dapat dipasarkan secara lebih luas ke negara-negara ASEAN dan China. China yang memiliki wilayah yang luas, jumlah penduduk yang banyak, serta pertumbuhan ekonomi yang pesat menjadi pasar yang potensial untuk mengekspor produk-produk unggulan dari Indonesia ke negara tersebut. Dengan mengalirnya produk-produk Indonesia ke negara luar, maka kegiatan industri di Indonesia menjadi meningkat, sehingga dapat meningkatkan pendapatan negara Indonesia.
Sebaliknya, perekonomian China yang begitu kuat terfokus pada ekspor menjadi tantangan bagi Indonesia. Ditambah lagi Pemerintah China yang mendukung penuh perdagangan masyarakatnya telah mampu untuk menghasilkan produk yang berkualitas, produk yang bervariasi, teknologi yang maju serta harga yang relatif murah. China yang memiliki keunggulan produk yaitu pada produk-produk hasil pertanian seperti Bawang putih, bawang merah, jeruk mandarin, apel, pir, dan leci. Tidak hanya pada bidang pertanian saja China unggul, namun  pada produk hasil industry seperti tekstil, baja, mainan anak-anak, perkakas rumah tangga, barang-barang elektronik, dan alas kaki membuat China semakin sulit untuk disaingi dimana mereka memiliki biaya produksi dan upah buruh yang murah. Sedangkan Indonesia begitu unggul di sector pertanian saja seperti minyak kelapa sawit (CPO), karet, kokoa, dan kopi. Kemudian produk yang harus bersaing adalah garmen, elektronik, sektor makanan, industri baja/besi, dan produk hortikultura.
Dengan demikian produk-produk dari China tersebut akan mendominasi pasar di Indonesia. Begitu pula produk Indonesia yang sama dengan produk dari China, namun Indonesia masih kalah bersaing di beberapa produk tersebut. Walaupun begitu Indonesia masih unggul dalam produk komponen otomotif, garmen, furniture, dan perlengkapan rumah tangga.[1] Walaupun memiliki unggulan produk, namun hal tersebut akan menjadikan sebuah tantangan yang berat bagi Indonesia karena harus bersaing dengan produk lain yang lebih murah dan berkualitas.
Secara umum, Negara Republik Indonesia masih tertinggal dari China, hal ini terlihat dari infrastruktur Indonesia yang jauh tertinggal dari China. Padahal infrastruktur yang baik akan menunjang dalam menciptakan biaya berproduksi murah yang selanjutnya akan menekan harga di tingkat konsumen. Infrastruktur yang baik juga sangat membantu dalam perluasan pasar hingga mencapai tingkat perdagangan ekspor-impor. Hal ini terlihat dari masih banyaknya jalan-jalan yang rusak dan adanya pungutan liar sehingga membuat naiknya harga produk-produk yang didistribusikan.
Dalam perdagangan bebas antara Indonesia dengan China ini, masyarakat memandang ACFTA sebagai ancaman, karena berpotensi membangkrutkan banyak perusahaan dalam negeri. Perusahaan yang diperkirakan akan mengalami kebangkrutan tersebut adalah tekstil, mainan anak-anak, furniture, keramik dan elektronik. Bangkrutnya perusahan tersebut disebabkan karena ketidaksiapan para pelaku bisnis Indonesia, terutama bisnis menengah dan kecil dalam bersaing. Pemikiran tersebut didasarkan pada kondisi yang terjadi saat ini, dimana berbagai produk dari China telah membanjiri pasar Indonesia. Produk dari China yang masuk ke Indonesia sangat bervariasi dan memiliki harga yang relatif murah. Sebagai contoh, batik yang merupakan simbol budaya Indonesia telah dibuat pula oleh Cina. Dimana batik made in China tersebut telah tersebar di pasar-pasar tradisional atau pusat perbelanjaan grosir. Batik ini laku di pasaran karena harganya yang begitu murah dibandingkan batik asli Indonesia dan juga batik ini hampir mirip dengan batik buatan Indonesia.[2] Begitu pula yang terjadi pada produsen meubel Indonesia yang harus bersaing ketat dengan produk meubel dari China. Dimana meubel China berbentuk minimalis yang begitu diminati oleh masyarakat domestik. Ditambah lagi belum ada SNI (Standar Nasional Indonesia) bagi meubel Indonesia sehingga meubel dari China tersebut dapat tersebar bebas di Indonesia dan lebih laku.[3]
Secara perlahan ketika kelangsungan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) seperti batik, tekstil, mainan, kerajinan, jamu, keramik, meubel, dan lainnya mengalami kebangkrutan maka pekerja lokal pun akan terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga angka pengangguran akan semakin meningkat. Seperti yang terjadi pada industri petrokimia yang harus mem-PHK 86.000 karyawannya karena tidak mampu bersaing dengan barang impor China[4]. Kemudian sebanyak 2.000 industri kecil tekstil yang masing-masing memperkerjakan antara 12 hingga 50 tenaga kerja terancam tutup.[5] Dengan begitu masyarakat lebih cenderung kepada produk tekstil dari China yang mempunyai harga lebih rendah dibandingkan dengan produk lokal. Akibatnya permintaan domestik terhadap produk tekstil menjadi menurun, sehingga mematikan produsen tekstil dalam negeri. Hal yang sama juga terjadi pada industri mainan, meubel dan lainnya.
Sementara itu, dengan diberlakukannya ACFTA, maka China yang akan memperoleh keuntungan dari ketersediaan sumber daya alam dan energi Indonesia. Negara China akan memanfaatkan sumber daya alam dan energi Indonesia itu untuk menggerakkan industri mereka dengan biaya yang murah dan hasilnya kemudian dipasarkan kembali ke Indonesia.
Masuknya produk China ke Indonesia tidak hanya berdampak terhadap produk Indonesia, akan tetapi juga berdampak terhadap kesehatan masyarakat. Beberapa produk China yang masuk ke Indonesia mengandung racun dan zat yang berbahaya bagi kesehatan, seperti timbal yang terdapat pada mainan anak-anak.[6] Lalu, produk  yang mengandung susu dimana di dalamnya terdapat melamin. Melamin ini biasa digunakan pada pembuatan plastik, pupuk, dan pembersih.[7] Kemudian produk makanan berupa jeruk ditemukan mengandung formalin,[8] dan produk kosmetik juga ditemukan mengandung merkuri atau air raksa sehingga begitu berbahaya bagi tubuh.[9]
Berbagai permasalahan yang terjadi dengan masuknya produk dari China ke Indonesia menggambarkan  pengaruh negatif dari ACFTA terhadap industri dan juga kesehatan masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu masyarakat dan para pengusaha industri tidak setuju atas pelaksanaan ACFTA karena merugikan mereka. Sementara itu pemerintah Republik Indonesia sampai saat ini masih tetap menjalankan ACFTA, karena dianggap akan dapat meningkatkan daya saing Indonesia terhadap barang-barang dari China tersebut.



[1] http://nasional.kompas.com/read/2008/10/21/1305433/produk.indonesia.tidak.kalah.dari.india.dan.china.
[2] http://nasional.vivanews.com/news/read/119554-batik_china_banjiri_pasar_klewer
[3] http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/01/29/09081861/Siap-siap..Mebel.China.Banjiri.Indonesia.Mei
[4] http://bataviase.co.id/node/64010
[5] MajalahTempo,edisi 09/39, 26 April 2010
[6] http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/03/13/12470675/80.Persen.Mainan.Produk.China.Disinyalir.Beracun
[7] http://nasional.kompas.com/read/2008/09/24/17240623/BPOM.Imbau.Tidak.Konsumsi.Produk.Susu.Cina
[8] http://koran.republika.co.id/berita/53737/Jeruk_Asal_Cina_Mengandung_Formalin
[9] http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/05/28/brk,20070528-100799,id.html

Sabtu, 25 Desember 2010

The Economics of Currency Redenomination



           Permasalahan ekonomi merupakan salah satu permasalahan krusial dalam sebuah negara maupun global. Di negara-negara berkembang saat ini mengambil sebuah kebijakan redenominasi sebagai salah satu langkah untuk mengatasi jatuhnya perekonomian di sebuah negara, Redenominasi ini merupakan sebuah proses pengurangan jumlah angka nol dalam nilai mata uang sebuah negara. Redenominasi memiliki berbagai variasi dalam pengurangan digitnya, dari pengurangan satu digit nol hingga sembilan digit nol dalam suatu nilai mata uangnya, seperti yang pernah terjadi di Afghanistan pada tahun 2002 dengan pengurangan tiga digit nol dalam nilai mata uangnya, di Turki yang sukses dalam menjalankan redenominasi ini dengan melakukan pengurangan enam digit nol dalam mata uang Liranya dan Yugoslavia yang memotong Sembilan digit nol dari mata uang Dinarnya selama redenominasi. Redenominasi ini juga dilakukan ketika negara-negara mengalami hyper-inflasi yang mengakibatkan nilai mata uang local sebuah negara mengalami penurunan seperti yang terjadi di Brazil, Argentina, dan Peru.
Tujuan dari redenominasi ini adalah untuk menstabilkan makroekonomi dan mengefisiensikan system transaksi. Tujuan lain dari redenominasi ini jugs adalah untuk menjamin adanya kepercayaan. Meningkatkan kepercayaan dapat meningkatkan pemilihan pemerintahan sebagai hadiah dari masyarakat karena telah meningkatkan perekonomian dan mendisiplinkan makroekonomi; dan redenominasi dapat meningkatkan prilaku pemerintah sebagai peminjam, sebagai wadah untuk investasi pribadi, dan sebagai pertahanan dalam nilai tukar di pasar modal global.
Agar lebih memahami permasalahan ini, kita akan melihat negara Nigeria dalam melakukan Redenominasi ini. Berdasarkan tujuan tersebut, Nigeria yang menginginkan permasalahan ekonominya teratasi ikut menerapkan redenominasi mata uang ini. Bank Sentral Nigeria mengurangi dua digit nol dari nilai mata uangnya dan membuat denominasi koin. Mereka membuat mata uang lamanya yaitu N100 menjadi N1 dan denominasi koinnya yaitu N1 menjadi N0,01 atau 1 Kobo. Bank Sentral Nigeria membuat N20 menjadi nilai mata uang terbesar dan 1 kobo menjadi nilai mata uang terkecil. Redenominasi tersebut dimulai pada 1 Agustus 2008. Dengan kebijakan tersebut Nigeria dapat menstabilkan nilai tukar, mengurangi inflasi, merubah perekonomian mikro, menciptakan koin yang akan memudahkan dalam transaksi ekonomi.
Dalam redenominasi ini tidak hanya terjadi pengurangan digit nol saja melainkan bisa dilakukannya penambahan digitnol pada nilai mata uangnya. Penambahan digit nol ini pernah terjadi di Afrika Selatan (1961), Sierra Leone (1964), Ghana (1965), Australia (1966), Bahama (1966), New Zealand (1967), Fiji (1969), Gambia (1971), Malawi (1971), dan Nigeria (1973). Penambahan digit nol ini dinamakan dengan Desimalisasi.
Pengurangan dan penambahan nilai mata uang ini berbeda dari revaluasi dan devaluasi. Revaluasi adalah perbaikan nilai mata uang nasional yang mengalami depresiasi melalui promosi ekspor dan mengendalikan impor. Sedangkan devaluasi merupakan penurunan nilai mata uang domestic terhadap mata uang asing. Dalam system nilai tukar kurs tetap, devaluasi merupakan tindakan resmi pemerintah untuk mengurangi nilai kurs mata uangnya terhadap mata uang asing atau emas. Dalam system nilai kurs bebas, devaluasi terjadi sejalan dengan mekanisme pasar nilai mata uang, dimana mata uang domestic mengalami penurunan terhadap mata uang asing tertentu.
Alasan utama sebuah negara melakukan redenominasi ini adalah karena adanya tekanan inflasi negaranya, efek psikologi, untuk mengontrol nilai mata uang dan politik nasionalnya.
1.      Tekanan Inflasi Negara
Redenominasi nilai mata uang ini terjadi bila suatu negara telah mengalami hyper-inflasi yang membuat nilai mata uang negaranya menjadi menurun terhadap mata uang negara lain. Hal ini dapat kita lihat di negara Turki yang pernah mengalami hyper-inflasi dimana sebuah botol air minum saja bisa seharga 300 ribu Turkish Lira dan GDP Turki pada 2002 lalu sebesar 273 quadrillion Tukish Lira. Begitu pula yang terjadi di Zimbabwe yang mengalami hyper-inflasi yang parah.

2.      Efek Psikologi
Factor ini merupakan factor umum yang membuat pemerintah melakukan redenominasi. Dengan merekonstruksikan Feel Good Effect dalam nilai mata uang dimana persepsi tersebut dapat meningkatkan nilai tukar dalam sebuah negara karena masyarakat selalu memulai tanpa sadar untuk menghubungkan redenominasi nilai tukar kepada revaluasi. Jadi redenominasi tidak hanya memfasilitasi transaksi ekonomi tetapi juga mempengaruhi identitas masyarakat dan kemudian melegitimasi pemerintahan nasionalnya.

3.      Mengontrol Nilai Mata Uang
Beberapa pemerintahan mengunakan kebijakan redenominasi ini sebagai langkah untuk meningkatkan kedaulatan moneter dan mengontrol kecenderungan perubahan nilai mata uang. Jika mayarakat tidak menggunakan nilai mata uangnya sendiri, maka mereka akan menggunakan nilai mata uang asing. Sehingga membuat inflasi dalam negaranya jika tidak di control.

4.      Politik Nasional
Menggunakan langkah redenominasi ini dapat meningkatkan kepercayaan secara penuh dalam politik nasional. Pemerintah selalu ingin untuk menekan inflansi hingga serendah-rendahnya demi pemulihan ekonomi karena mereka menginginkan terpilih kembali dalam pemilihan oleh masyarakat; mempengaruhi pasar internasional agar dapat membuat mereka membeli dengan murah dan mempengaruhi investasi asing sehingga dapat memfasilitasi pengeluaran pemerintah dan meningkatkan ekonomi domestic.

Jadi dilakukannya redenominasi nilai mata uang ini dipengaruhi oleh factor ekonomi dan politik. Dengan factor-faktor positif tersebut, Redenominasi merupakan salah satu langkah dalam mengatasi permasalahan ekonomi. Dengan begitu negara dapat menekan tingkat pengangguran yang besar, mengurangi kemiskinan, mengatasi ketidakamanan jiwa dan harta, mengatasi ketidakefisienan infrastruktur seperti energy dan transportasi, krisis pendidikan, rendahnya teknologi, dan lainnya.
            Dalam redenominasi ini juga terdapat beberapa keuntungan walaupun ada biaya dan resiko dalam penerapannya. Keuntungan terebut antara lain adalah:
  • Dengan adanya redenominasi ini akan lebih efisien dalam nilai mata uang dengan pengurangan digit nolnya
  • Memudahkan dalam transaksi bisnis karena menggunakan unit uang yang kecil,
  • Mengurangi beban uang tersebut bila membawanya seperti bila di dompet kita dulu membutuhkan uang kertas yang banyak, setelah redenominasi ini uang kertas yang dibawa akan sedikit dengan begitu dapat mengurangi resiko seperti diserang oleh perampok,
  • Masyarakat tidak akan dipusingkan dengan angka nol yang banyak,
  • Meningkatkan kepercayaan pada nilai mata uang,
  • Dapat mengurangi inflasi pada ekonomi jika terjadi hyper-inflasi dan penurunan nilai mata uang akan teratasi bila proses redenominasi berjalan dengan baik,
  • Dapat memudahkan dalam pembukuan dan mengurangi pekerjaan yang membosankan dalam transaksi, pembuatan laporan keuangan dan aktivitas bank.
Resiko dalam redenominasi ini terbagi ke dalam 4 faktor, yaitu :
  • Akan menyebabkan efek inflasi karena adanya pembulatan harga seperti bila harga sebuah barang adalah 1420 rupiah akan dibulatkan menjadi 1500 rupiah.
  • Membutuhkan biaya yang besar dalam perubahan harga pada label, perubahan hokum atau regulasi, biaya dalam pembuatan uang kertas baru dan koin baru, biaya dalam penarikan uang dan koin lama, biaya yang besar dalam sosialisasi masyarakat apalagi pada masyarakat di daerah pinggiran yang sulit mengakses informasi ini lewat media massa atau media elektronik dan buta huruf, mengubah software dan laporan akunting.
  • Adanya efek psikologi akan rendahnya pendapatan.
  • Biaya tambahan dalam ekonomi jika beberapa digit nol kembali bila inflasi.
Dengan melihat resiko tersebut, terdapat beberapa negara yang gagal seperti halnya yang terjadi di negara Latin Amerika, Brazil, Zimbabwe dan negara lainnya yang tidak efektif dalam perubahan ekonominya dan jauh dari stabilitas ekonomi sehingga redenominasi ini tidak dapat menyelesaikan permasalahan ekonomi di negara-negara tersebut. Namun, menurut Ishiekwene (2007), redenominasi akan sukses dalam lingkungan stabilitas makroekonomi, berurangnya inflasi, nilai tukar yang stabil, pengendalian fiscal, dan kebijaksanaan dan dugaan rasional dalam kepercayaan kebijakan. Jadi, redenominasi ini murni pelaksanaan teknokrasi dimana memerlukan biaya yang nyata, melebihi biaya jangka pendek dalam membuat uang kertas baru dan sosialisasi kepada masyarakat dan pasar financial.

Financial and Accounting Impact of Redenomination
Secara umum, redenominasi ini tidak berdampak secara langsung pada ekonomi. Ketika nilai mata uang stabil dan kekuatan pembayaran juga sama, dampak nyata kepada ekonomi mikro dan makro akan tidak terjadi, permintaan dan penawaran barang dan jasa tidak akan berubah, keuntungan investasi, mengurangi pengeluaran pemerintah, keseimbangan pembayaran dan keuntungan dalam ekspor.
Redenominasi ini dapat meningkatkan capital inflow. Investor asing dapat sepenuhnya percaya pada iklim investasi pada suatu negara dan akan mendorong kepada pemasukan uang kepada pasar modal yang akan mengurangi tingkat inflasi dan meningkatkan kebijakan makroekonomi.
Pada bidang akunting, redenominasi ini dapat mengurangi waktu dalam memasukkan data financial dan memudahkan dalam mereviewnya kembali. Dengan begitu, laporan bisnis dan akunting yang dahulu datanya menggunakan benyak digit nol dan kini dikurangi beberapa digit nolnya akan semakin efisien dalam mengatur informasi keuangan. Ditambah lagi, akan mengurangi biaya dalam proses bisnis dan prosedurnya.

Conclusion
Secara umum, redenominasi ini terjadi di beberapa negara. Namun ada negara yang berhasil dan yang gagal dalam menerapkan redenominasi ini. Negara yang berhasil seperti Turki dapat dengan mudah meningkatkan perekonomiannya walaupun sebelumnya teah mengalami hyper-inflasi. Sedangkan negara yang gagal dalam melakukan redenominasi ini akan terus dilnda hyper-inflasi yang akan memperparah perekonomiannya.
Agar dapat berhasil dalam melakukan redenominasi ini pemerintah harus disiplin dalam prosesnya, focus dalam mengurangi inflasi, meningkatkan produksi, mempromosikan barang-barang ekspor sehingga dapat meningkatkan keuntungan, meluaskan lowongan pekerjaan, dan posisi Balance of payment yang baik. Dengan begitu, sebuah negara akan dapat sukses dalam menjalankan redenominasinya.